TRENDING

Pria

Wanita

Motivasi

10 Jun 2017

Ibadah Sia-sia dan Murni

www.renunganhariankristen.com
www.renunganhariankristen.com

Kemarahan merupakan unsur yang sering terlibat dalam konflik hubungan antar manusia. Bahkan, bagi beberapa orang kemarahan merupakan masalah yang serius dalam hidupnya dan harus mendapat perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh.
Pertengkaran sering dimulai dari komunikasi yang buruk. Kemampuan mengelola kemarahan harus dimulai dari kemampuan mengendalikan lidah. Yakobus menyarankan agar kita mengurangi kecenderungan kita untuk cepat mengeluarkan kata-kata, dan sebaliknya belajar menjadi pendengar yang baik.
Bagi orang percaya, mengendalikan lidah bukan hanya masalah etika melainkan merupakan salah satu wujud melakukan firman Tuhan. Bila kita menerima firman Tuhan, meneliti, dan melakukannya maka seharusnya kita juga mampu mengekang lidah kita. Bahkan bagi Yakobus, ketidakmampuan mengekang lidah menjadi tanda suatu ibadah yang sia-sia. Mereka yang pernah sakit hati oleh perkataan kita tentu juga akan memberikan cibiran yang senada, “Percuma rajin ke gereja kalau perkataannya selalu menyakiti orang lain”. Ibadah yang murni ditandai dengan mempraktekkan firman Tuhan dalam kehidupan kita.
Kapan dan kepada siapa Anda melontarkan kata-kata pedas yang membangkitkan kemarahan orang lain? Apapun alasannya, mintalah pengampunan dari Tuhan, jikalau perlu lakukan pemberesan dengan orang tersebut!
Mintalah kekuatan agar Anda dapat memakai lidah Anda mengeluarkan perkataan yang baik dan membangun orang lain! [GKBJ – Renunganhariankristen.com]

Note: artikel ini telah dipublikasikan terlebih dahulu oleh Renunganhariankristen.com

25 Jul 2015

Secangkir Coklat Panas


Sekelompok alumni yang sudah mapan dalam karir, sedang berbincang-bincang pada saat reuni. Lalu teringat dengan mantan dosen mereka yang telah pensiun serta bersepakat pergi mengunjunginya bersama-sama.

Saat berkunjung, mereka berbicara tentang berbagai hal. Tanpa disadari perbincangan itu berubah menjadi keluhan, stres dan masalah pekerjaan. Sebagai tuan rumah, sang mantan dosen pergi ke dapur untuk menyajikan coklat panas kepada murid-muridnya itu. Ia pun mengaduk coklat panas dalam wadah yang berbeda-beda. Ada yang diaduk dalam teko besar, ada dalam cangkir porselen, gelas, kristal. Bahkan beberapa diantaranya hanyalah cangkir yang sangat sederhana. Ada beberapa yang mahal dan cantik.

Sang dosen lalu mengajak mereka untuk mengambil sendiri coklat panas tersebut. Segera masing-masing dari mereka mulai memegang secangkir coklat panas yang mereka pilih di tangan mereka. Kemudian sang dosen berkata: “Lihatlah semua cangkir yang bagus, dan mahal, semuanya telah diambil, yang tertinggal hanyalah yang biasa dan yang murah”.

“Adalah normal bagi kalian untuk menginginkan yang terbaik bagi kalian semua, itu adalah sumber dari masalah dan stres kalian. Cangkir yang kalian minum tidak menambahkan kualitas dari coklat panas tersebut”.

“Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah coklat panas, bukan cangkirnya; tetapi secara tidak sadar kalian menginginkan cangkir yang terbaik. Kemudian kalian mulai saling melihat dan membandingkan cangkir masing-masing”.

Ia sejenak berhenti. Kemudian melanjutkan kembali ucapannya. “Sekarang pikirkan ini: Kehidupan adalah coklat panas; pekerjaan, uang dan kedudukan di masyarakat adalah cangkirnya. Itu hanyalah alat untuk memegang dan memuaskan kehidupan. Cangkir yang kau miliki tidak akan menggambarkan, atau mengubah kualitas kehidupan yang kalian miliki. Terkadang, dengan memusatkan perhatian kita pada cangkirnya, kita gagal untuk menikmati coklat panas yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan membuat coklat panasnya, tetapi manusia memilih cangkirnya”.

Kisah secangkir coklat ini mengajarkan kepada kita tentang makna kebahagiaan dalam hidup. Bahwa saat manusia tidak memiliki semua yang terbaik, maka mereka hanya perlu berbuat yang terbaik dari apa yang mereka miliki untuk merasakan kebahagiaan. Manusia diajak untuk tetap bersyukur atas segala hal yang dimilikinya.

Sumber : berbagai sumber/jawaban.com/ls

17 Jan 2015

Tembok Berapi

Dan Aku sendiri, demikianlah firman Tuhan, akan menjadi tembok berapi baginya di sekelilingnya, dan Aku akan menjadi kemuliaan di dalamnya (Zakaria 2:5).

Tembok Besar di Tiongkok mulai didirikan pada abad ke-3 SM. Tembok yang termasuk dalam tujuh keajaiban dunia ini memiliki panjang sekitar 1.500 mil (2.400 kilometer). Tembok Besar tersebut dibangun untuk melindungi rakyat dari serbuan mendadak para pengembara dan menjaga mereka dari penyerangan yang dilakukan oleh negara-negara musuh.

Dalam kitab Zakaria 2, kita membaca kisah tentang tembok perlindungan yang lain. Zakharia mendapatkan sebuah penglihatan lain, yaitu penglihatan tentang seseorang yang sedang memegang tali pengukur untuk mencoba memastikan panjang dan lebar Yerusalem (ayat 1 dan 2). Pria itu bermaksud untuk membangun kembali tembok benteng yang mengelilingi kota.

Orang ini kemudian diberi tahu bahwa ia tidak perlu membangun benteng itu kembali karena Yerusalem akan dipenuhi oleh banyak umat Allah sehingga tembok Yerusalem itu tidak akan mampu memuat mereka semua (ayat 4). Selain itu, mereka tidak lagi membutuhkan tembok karena Tuhan telah berjanji, “Aku sendiri ... akan menjadi tembok berapi baginya di sekelilingnya, dan Aku akan menjadi kemuliaan di dalamnya” (ayat 5).

Tembok lahiriah dapat dikikis atau dirobohkan, betapa pun tinggi dan kokohnya tembok tersebut. Namun sebagai anak-anak Allah, kita mempunyai tembok perlindungan terbaik yang dapat dimiliki oleh siapa pun, yakni kehadiran Allah secara pribadi. Tak satu pun yang dapat mencapai kita tanpa terlebih dahulu melewati Dia dan kehendak-Nya. Di dalam Dia kita aman dan tenteram.

Keamanan tidak ditemukan dalam ketiadaan bahaya, tetapi dalam hadirat Allah.

[Daily Devotional - Jawaban.Com]
 
Back To Top